Pasangan Capres incumbent, baik SBY maupun JK, sama-sama mengunggulkan program populis bantuan langsung tunai (BLT) sebagai andalan keberpihakan kepada rakyat miskin. Tak pengaruh, apakah sejak awal program BLT ini telah mengundang kontroversi. Selain karena efektifitas dan cara pembagiannya juga karena dananya dikaitkan dengan utang negara yang membengkak.
Program BLT diluncurkan pemerintahan SBY-JK saat menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dua kali pada Maret dan Oktober 2005. Program jaring pengaman sosial ini dibuat sebagai kompensasi untuk warga miskin. Sekitar 19,1 juta kepala keluarga diberi uang Rp100 ribu per bulan selama setahun, yang kemudian berlanjut sampai saat ini.
Walau belum ada penelitian mendalam, diyakini faktor BLT ini telah berpengaruh besar dalam mendongkrak perolehan suara Partai Demokrat (partai yang dipimpin SBY sebagai Ketua Dewan Pembina) dalam Pemilu Legislatif, hingga keluar sebagai pemenang dengan meraih suara lebih 20 persen.
Tetapi, di lain pihak perolehan suara Partai Golkar yang dipimpin JK sebagai Ketua Umum, justru jeblok 7 persen menjadi lebih 15 persen dari sebelumnya 22 persen pada Pemilu 2004. Padahal, menurut JK, sebagai Wakil Presiden, dialah yang menggagas BLT. Oleh sebab itu, dalam kampanye Pilpres, ia pun beberapa kali mengungkap bagaimana ia mengambil insyatif untuk menggelontorkan program BLT itu.
Sehingga, antara Capres SBY dan Capres JK, terjadi saling berlomba mengunggulkan BLT sebagai bukti nyata keberpihakan kepada rakyat miskin. Walaupun di kalangan intelektual (cendekiawan) dan kalangan berpendidikan lainnya, timbul kontroversi apakah BLT mengurangi kemiskinan? Tapi, rakyat penerima BLT sudah terbantu, terpikat dan kecanduan menikmati uang tunai itu. Uang kontan Rp.100 ribu sangat berarti bagi mereka. Mumpung ada kebijakan pemerintah yang populis, tak peduli apakah itu visioner dan mendidik atau tidak!
Program BLT, dalam pandangan pemimpin yang visioner dan kalangan terdidik, dinilai tidak mendidik masyarakat dan hanya mengentalkan mental pengemis warga miskin. BLT hanya menyodorkan ikan, bukan kail. Rakyat miskin tidak diberdayakan agar mampu keluar dari kemiskinan.
Selain kontroversial, dari segi mendidik kemandirian atau tidak, pelaksanaan program BLT itu juga tidak berjalan mulus. Bukan hanya karena dananya ada yang tidak utuh sampai ke tangan warga miskin, juga telah memakan korban jiwa karena kelelahan atau terinjak-injak saat mengantre.
Namun, ketika Megawati mengkritisi program BLT, saat kampanye Pemilu Legislatif, telah menjadi bulan-bulanan. Hampir semua politisi, cendekiawan, profesor, ulama dan rohaniawan bungkam, terbawa arus populis dan pragmatis. Jadilah, arus opini publik bahwa BLT sebagai suatu kebijakan unggulan yang pro rakyat.
BLT dan Utang
Publik kemudian sedikit tersadar, ketika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan hasil pemeriksaan keuangan pemerintah pusat tahun 2008 kepada DPR, Selasa (9/6). Ketua BPK Anwar Nasution BPK mengungkapkan program pemerintah dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT) ternyata anggarannya berasal dari utang.
Ironisnya, utang itu termasuk utang komersial karena bunganya mencapai 12%-13%. Bukan pinjaman lunak dari lembaga internasional, yang rata-rata bunganya hanya sekitar 4%-6%. Rasionalitas publik semakin terganggu ketika menganggap program BLT itu dipakai sebagai kampanye keberhasilan pemerintah dalam pemilu.
Pemerintahan SBY pun dengan cekatan dan tegas membantah, tidak benar sumber dana BLT dari utang. Walaupun sebelumnya, Menko Kesra Aburizal Bakrie (10/6) sudah menjelaskan bahwa utang hanyalah salah satu sumber belanja pemerintah. "Program pemerintah itu berasal dari anggaran yang isinya dari berbagai sumber, yaitu komponen pajak, utang dan lainnya," katanya.
Menurut Aburizal, telah terjadi salah interpretasi dari BPK dalam memandang pola anggaran yang diterapkan pemerintah. Ical menjelaskan dalam menyusun pola budjet, pemerintah memilih seluruh komponen, mulai pemasukan pajak, pendapatan lainnya, hingga utang, dicampur dalam satu paket.
"Pendapatan yang telah bercampur dalam satu paket budjet itulah yang dipergunakan untuk belanja macam-macam, baik itu proyek pembangunan, termasuk pengucuran BLT bagi rumah tangga sangat miskin," ujar Aburizal sebagaimana dirilis berbagai media.
Kendati pemerintah sudah membantah, tapi perhatian publik sudah terlanjur tertarik ingin mengetahui kebenaran tentang utang pemerintah. Sebelumnya publik sangat senang melihat dan mendengar iklan yang menyatakan utang kepada IMF telah lunas. Memang benar, utang kepada IMF telah lunas dan CGI telah dibubarkan.
Tetapi, ternyata pemerintah terus melanjutkan utang, justru dengan bunga yang lebih besar (komersial) berkisar 12%-13%. Malah bukan lagi pinjaman lunak seperti sebelumnya yang rata-rata bunganya hanya sekitar 4%-6%.
Dalam lima tahun terakhir, ternyata utang meningkat rata-rata Rp 80 triliun per tahun. Membengkak drastis Rp.400 triliun dalam empat setengah tahun terakhir, dari Rp.1.275 triliun pada Desember 2004 menjadi sekitar Rp.1.700 triliun pada 29 Mei 2009. Itu berarti setiap rakyat Indonesia, dari kakek sampai bayi baru lahir, telah terbebani utang Rp.7,5 juta per jiwa.
Bahkan, hanya dalam tempo lima bulan terakhir, utang pemerintah Indonesia naik Rp.64 triliun, dari Rp1.636 pada akhir 2008 menjadi Rp.1.700 pada akhir Mei 2009. Utang itu terdiri dari Rp.732 triliun pinjaman luar negeri dan Rp.968 triliun berupa surat berharga nasional (SBN).
Tereksposnya data tentang utang itu, dengan cepat ditanggapi pejabat pemerintah dan anggota tim kampanye SBY-Boediono. Menurut mereka, melihat utang semata dari jumlah adalah menyesatkan. Mereka menganjurkan menyimak utang seraya membandingkannya dengan produk domestik bruto (PDB).
Dijelaskan, 1999, rasio utang-PDB kita mencapai 100 persen. Tahun 2008 sudah turun menjadi 33 persen, dan akhir tahun ini diharapkan susut lagi menjadi 32 persen. Dilihat dengan cara itu, tampaklah bahwa kemampuan pemerintah dalam membayar utang semakin meningkat. Menteri Keuangan yang juga Pelaksana Tugas Menteri Koordinator Perekonomian, Sri Mulyani Indrawati menilai kondisi utang pemerintah saat ini tak mengkhawatirkan seperti dituding oleh beberapa kalangan.
Namun penjelasan pemerintah ini dianggap kalangan pengamat ekonomi kurang pas. Disebutkan, di negara lain utang dibandingkan dengan total cadangan devisa, total aktiva bersih pemerintah atau arus penerimaan pajak. Maka jika utang kita Rp 1.700 triliun, sedangkan cadangan devisa pemerintah hanya US$ 58 miliar atau Rp 580 triliun dan penerimaan pajak cuma Rp 660 triliun, maka utang hampir tiga kali lipat cadangan devisa.
Padahal pada 2000, utang luar negeri kita US$ 74,9 miliar atau 2,5 kali lipat cadangan devisa saat itu, US$ 29,4 miliar. Tahun 2004, utang luar negeri naik menjadi US$ 82,7 miliar, dan cadangan devisa bertambah menjadi US$ 35,4 miliar. Sehingga perbandingannya dua kali lipat lebih. Maka, jika rasio ini yang dipakai, terlihat bahwa tingkat utang memang semakin mengkhawatirkan
Saya tidak setuju apabila rakyat hanya dikasih ikan(BLT) kasih jugalah kail sama perahunya... tapi apabila kita ga kasih dia ikan, bagaimana dia bisa mancing (mana mungkin bisa bekerja klo dalam keadaan sangat lapar)...
ReplyDeletebuat mas pandu.. kayaknya sya sepemikiran kaya mas pandu.. BLT bikin malas masyarakat kita.. tapi BLt juga tapi butuhkan masyrkat kita..
ReplyDeletetapi tidak ada salahnya pemerintah ngasih BLT.. BLT juga baik klo kita nanggapinnya baik..
ReplyDeleteBLT tidak cukup untuk menutupi pengeluaran.
ReplyDelete